CINTA DAN PERKAWINAN
DESKRIPSI CINTA DAN PERKAWINAN
Pengertian Cinta
Menurut
Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap
orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan
seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang
memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan, dsb. Kisah pada setiap
orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orang
tua, pengalaman, cerita, dsb. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang
bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.
Daniel
Goleman (2002 : 411) mengemukakan cinta adalah salah satu dari macam
emosi yang berupa: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati,
rasa dekat, bakti, hormat, dan kemesraan.
Pengertian Perkawinan
Duvall
dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara
pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui
tugas masing-masing sebagai suami dan istri.
Menurut
Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 No 1 menyatakan bahwa perkawinan
adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
Sigelman
(2003) mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua
orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam
hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan
istri yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan,
persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.
Menurut
Dariyo (2003) perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau
dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai
ikatan kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan telah diakui secara sah dalam
hukum agama.
Gardiner
& Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa
perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan
kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk
pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga
diri.
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan definisi perkawinan
adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian
peran suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan,
cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan
untuk pengembangan emosional antara suami dan istri.
BAGAIMANA MEMILIH PASANGAN
Memilih seorang teman hidup merupakan
tugas yang maha sulit. Tidak semudah apa yang dikatakan orang: mendapat jodoh.
Memang, jodoh yang baik harus dicari, dipilih dengan seksama dan bijaksana.
Pada umumnya setiap orang
mempunyai suatu gambaran ideal mengenai calon teman hidup itu. Seringkali
gambaran ideal tidak mencakup semua aspek-aspek atau segi-segi kepribadian,
akan tetapi hanya meliputi beberapa factor misalnya tinggi badan atau
gantengnya saja atau mungkin juga sikap yang penuh pengertian dan lain-lain.
Padahal sebagai syaratmemilih teman hidup perlu diperhatikan factor pendidikan,
latar belakang kebudayaan, latar belakang keluarga, agama, kesenangan atau hobi
dan sifat sifat atau kebiasaan-kebiasaan lain yang kadang-kadang nampaknya
kecil tetapi sering berpengaruh besar dalam hubungan suami-isteri. Makin besar
perbedaan yang terdapat di antara kedua calon, makin banyak itikad baik dan
pengertian di butuhkan demi tercapainya penyesuaian dan kesesuaian. Mencari
teman hidup seolah-olah harus melalui suatu proses seleksi dari beberapa calon.
Calon-calon tentunya harus dipilih dari sumber yang luas dari kelompok sosial
yang bermacam-macam. Hal ini hanya mungkin di capai melalui pergaulan yang luas. Pergaulan yang
luas perlu supaya dan kemungkinan memperoleh seseorang yang sesuai dengan
gambaran ideal lebih besar, daripada pergaulan yang terlalu terbatas.
Memilih pasangan hidup dengan
pemikiran dan pertimbangan yang bijaksana.Ini berarti bahwa pilihan betul-betul
melalui proses pertimbangan dan tidak hanya berdasarkan cinta yang semata-mata
dilandasi oleh nafsu birahi semata. Dalam hal ini perlu di bedakan antara cinta
birahi dan kasih sayang.
Cinta birahi atau “erotic
love” atau “romantic love”, sangat erat bertautan dengan keadaan luar yakni
penampilan yang menggairahkan atau suasana yang merangsang nafsu birahi. Cinta
demikian ini lebih mementingkan pemuasan dan kesenagan diri sendiri. Sebaliknya kasih sayang
lebih bertautan dengan member sayang, member kepuasan dan kesenangan kepada
orang lain.
Kasih sayang lebih banyak
di tentukan oleh orangnya sendiri, oleh kesediaannya member sayang dan member
kesenangan, jadi tidak terlalu dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya.
Juga kasih sayang akan lebih menetap sifatnya, dan tidak terlalu cepat berubah.
Sebaliknya pilihan yang didasarkan pada romantic love yang terlalu dipengaruhi sifat dari luar atau segi-segi penampilan dan
jasmaniah, akhirnya cepat berubah seperti halnya pada perubahan penampilan dan
jasmaniah.
Pada umumnya sebelum menikah
calon pengantin berada pada masa puncaknya penampilan. Baik pria maupun wanita
sedang berada pada tahap perkembangan fisik yang sebaik-baiknya, bagaikan
“bunga yang sedang merekah” . Sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun
perubahan-perubahan jasmani mulai terlihat. Lalu bagaimana dengan “cinta”
itu, apakah juga menghilang bersamaan dengan menghilangnya kecantikan sang
istri dan gantengnya sang suami? Seharusnya menghilang atau melunturnya cinta
tidak boleh terjadi.
SELUK BELUK HUBUNGAN DALAM PERKAWINAN
Melalui
perkawinan, hampir setiap orang berharap akan memperoleh kebahagiaan. Namun, antara cita-cita dan kenyataan bisa berbeda. Perkawinan yang
menjadi dambaan, setelah berlangsungsekian waktu, ternyata justru menjadi
neraka. Kita dapat menemukan banyak pasangan benar-benar bahagia dalam
perkawinan yang panjang (abadi), tetapi tak jarang menemukan perkawinan bubar
ditengah jalan.
Pengalaman menyedihkan
Perceraian, meskipun frekuensinya cukup tinggi, khususnya dikalangan
selebriti, bagaimanapun merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi yang
mengalaminya. Baron dan Byrne (1994) dalam bukunya, Social Psychology, memaparkan temuan para peneliti mengenai akibat
perceraian. Fischman menemukan adanya penderitaan emosional yang dialami baik
laki-laki maupun perempuan yang perkawinannya gagal. Mereka mengalami kesepian,
depresi dan perasaan marah yang relative menetap.
Beberapa peneliti lain menemukan akibat yang lebih menyedihkan pada
anak-anak dari pasangan yang gagal perkawinannya: mereka merespon dengan
perasaan yang sangat negative, memiliki self-esteem
rendah (merasa tidak berharga), cemas, merasa tak berdaya, dan mengalami
masalah dalam relasi sosial serta akademik.
Disisi lain, dalam survey-survei mengenai kebahagiaan dalam beberapa
dekade, hasilnya secara konsisten menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan menikah lebih bahagia daripada yang tidak pernah menikah ataupun
bercerai. Gambaran semacam ini dapat menjadi cermin, betapa kita memerlukan
informasi bagaimana mengelola hubungan dalam perkawinan agar sebuah perkawinan
yang telah dirajut dapat berlangsung abadi.
Aneka Problem
Ketika suatu pasangan mengakhiri suatu hubungan, yang paling sering
dikemukakan sebagai alasan adalah “tidak lagi ada kecocokan” atau secara
implicit dinyatakan adanya pihak ketiga (The
other woman/man).
Pada dasarnya ada beberapa tipe sumber masalah dalam perkawinan.
Diantaranya adalah konflik yang khas dalam relasi antara laki-laki dan
perempuan, menemukan ketidakcocokan, dan kebosanan.
Konflik yang khas dalam interaksi pria dan wanita
Berdasarkan survey terhadap ribuan responden, ditemukan bahwa para
wanita pada umumnya merasa sedih bila pasangannya tidak sungguh-sungguh
mencintai dan melindungi secara gentle, sedangkan para pria sedih bila
pasangannya menolak seksualitasnya dan mengabaikan. Penelitian lain menemukan
bahwa karakteristik tertentu dapat memicu konflik, seperti emosi yang tidak
stabil, tidak sensitive (unperceptive), dan
juga yang dalam hubungan merasa takut di manipulasi (menjadi mudah curiga).
Perasaan negatif sering timbul pada pasangan yang menemukan beberapa
perbedaan dalam sikap, nilai-nilai hidup, dan pilihan-pilihan lainnya. Mereka
kurang mendalami persamaan yang ada disamping perbedaannya. Hal ini biasanya
terjadi pada pasangan yang cintanya bertipe passionate,
lebih bersandar pada emosi. Idealnya pada awal hubungan mereka sudah saling mengenali perbedaan
maupun persamaan yang ada. Namun, perbedaan kadang-kadang muncul kemudian, tanpa
kesempatan antisipasi. Contohnya , salah satu pasangan berpindah keyakinan
agama, politik, menjadi peminum, menemukan minat tinggi terhadap kehidupan
diluar rumah, dan sebagainya.
Kebosanan
Bagi sebagian orang, menjalin hubungan dalam jangka panjang dirasa
membosankan. Ada pasangan-pasangan yang memutuskan untuk bercerai hanya karena
terjadi kebosanan satu sama lain. Untuk menghindari kebosanan, seperti yang
telah kita ketahui, sekali waktu pasangan perlu mencari stimulasi baru dalam
bentuk rekreasi, makan malam special, saling berbagi hobi baru, memperbaharui
praktik hubungan seksual dan sebagainya.
Dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang ada, pasangan-pasangan
akan mengembangkankelekatan satu sama lain. Kelekatan itu berbeda-beda antara
pasangan satu dengan yang lain. Tipe kelekatan ini akhirnya menentukan
keberhasilan atau kegagalan hubungan perkawinan.
Hazan & Shaver (Baron & Byrne, 1994; Deaux et.al.1993)
memaparkan adanya tiga tipe kelekatan, yakni Avoidant (tidak nyaman dalam
kedekatan/keintiman dan kurang percaya terhadap pasangan), anxious-ambivalent
(mempersepsi pasangan terlalu jauh, tidak mencintai dan ingin meninggalkan),
dan secure (kesiapan utnuk berhubungan erat, merasa nyaman bergantung terhadap
pasangan, dan tidak ada kekhawatiran bahwa pasangan akan meninggalkan).
Menurut penelitian, dari tiga tipe kelekatan ini ternyata hanya tipe
secure yang memungkinkan pasangan untuk membina hubungan jangka panjang,
bertanggung jawab, dan puas dalam hubungan.
Beberapa
hal lain yang diketahui dapat mempengaruhi kegagalan dalam perkawinan
diantaranya adalah: penghasilan rendah atau tidak stabil, pendidikan tidak
seimbang, pengalaman perceraian sebelumnya, neurotisme, harapan akan hubungan
yang tidak realistis, kurangnya cumbu rayu,
keinginan untuk mandiri, kebutuhan berkuasa terlalu tinggi pada pria, kebutuhan
berprestasi terlalu tinggi pada wanita, perkawinan dini, dan mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan.
PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI
Perceraian
Adakalanya, perkawinannya yang telah dijalin selama beberapa waktu
sebelumnya (bulan,tahun, puluhan tahun), ternyata harus diakhiri dengan
pengalaman yang menyakitkan hati diantara keduanya, yaitu perceraian.
Perceraian (divorce) merupakan peristiwa yang sebenarnyatidak direncanakan dan
dikehendaki kedua individuyang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian,
bagaimanapun dianggap sebagian orang ialah jalan terakhir yang harus ditempuh
ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Dinamika Proses Perceraian
Pasangan suami istri yang akan bercerai ditandai dengan sebuah
proses perpisahan. Jadi, perceraian tidak langsung menyebabkan kedua pasangan
individu yang menikah itu berpisah secaratotal begitu saja (tiba-tiba).
Perceraian merupakan titik kumulasi dari akumulasi berbagai permasalahan yang
menumpuk beberapa waktu sebelumnya. Menurut ahli psikologi perkawinan, Paul
Bohannon (dalam Turner dan Helms, 1995) mengatakan bahwa ada enam tahap
terjadinya proses perceraian, yaitu:
1.
Perpisahan secara emosional
2.
Perpisahan secara hokum
3.
Perpisahan secara ekonomis
4.
Perpisahan koparental
(pengasuhan anak)
5.
Perpisahan komunitas dan
6.
Perpisahan dari ketergantungan
Akibat-akibat Perceraian
Individu yang telah melakukan perceraian, baik disadari maupun tidak
disadari akan membawa dampak negatif. Hal-hal yang dirasakan akibat perceraian
tersebut, diantaranya sebagai berikut:
a) Pengalaman traumatis pada salah
satu pasangan hidup (laki-laki atau perempuan)
Individu yang telah berupaya
sungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan pernikahan dan ternyata harus berakhir
dalam perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman,
tidak tenteram, tidak bahagia, stress, depresi, takut dan khawatir dalam diri
individu. Akibatnya individu akan memiliki sikap benci, dendam, marah,
menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan mantan pasangannya. Selain itu
seringkali individu yang telah bercerai tidak dapat tidur, tegang, sulit
konsentrasi dalam melakukan pekerjaan, tidak berdaya dan putus asa. Kalau
kondisi psikis tersebut tidak tertanggulangi dengan baik, bisa mengakibatkan
gangguan psikosomatis, bunuh diri atau gangguan psikologis lainnya
(psikosa/gila)
b) Pengalaman traumatis anak-anak
Anak-anak yang ditinggalkan orangtua
yang bercerai juga merasakan dampak negative. Mereka mengalami kebingungan
harus ikut siapa, yaitu apakah ikut ayah atau ibu. Mereka tidak dapat melakukan
proses identifikasi pada orang tua. Akibatnya tidak ada contoh positif yang harus ditiru. Secara tidak langsung,
mereka mempunyai pandangan yang negative (buruk) terhadap pernikahan. Mereka
beranggapan bahwa orang dewasa itu jahat, egois, tidak bertanggung jawab, dan
hanya memikirkan diri sendiri. Kalau sudah
menjadi orang dewasa, mereka akan merasa takutmencari pasangan hidupnya, takut
menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran kalau-kalau perceraian itu
juga akan terjadi pada dirinya. Ketakutan atau kekhawatiran tersebut adakalanya
benar-benar terjadi menimpa diri seseorang. Akibatnya, hidup dalam pernikahan
berakhirdengan perceraian juga. Akan tetapi, adakalanya tidak terjadi perceraian.
Hal ini sebenarnya bergantung pada diri individu yang bersangkutan. Namun ,
yang jelas perceraian orang tua akan mendatangkan perasaan traumatis bagi
anak-anak.
c) Ketidakstabilan kehidupan dalam
pekerjaan
Setelah bercerai, individu merasakan
dampak psikologis yang tidak stabil. Ketiakstabilan psikologisditandai dengan
perasaan tidak nyaman, tidak tenteram, gelisah, resah, tidak damai, tidak
bahagia, merasa gagal, menyalahkan diri sendiri, kecewa, sedih, stress, takut,
khawatir dan marah. Akibatnya, secara fisiologis mereka tidak dapat tidur dan
tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja sehingga mengganggu kehidupan
kerjanya, misalnya prestasi kerja menurun.
Penyesuaian Diri Pascaperceraian
Bagi individu yang melakukan perceraian dengan eks pasangan
hidupnya, mau tidak mau harus menghadapi kenyataan. Sebelum menjadi seorang
individu yang hidup sendiri lagi (re-single), mereka umumnya memiliki masalah
penyesuaian diri. Dinamika emosional dalam proses penyesuaian diri individu,
setelah mengalami perceraian, umumnya meliputi lima tahap, yaitu:
a)
Penolakan (denial)
b)
Kecemasan (anxiety)
c)
Melakukan tawar menawar
(bargaining)
d)
Depresi dan
e)
Penerimaan (acceptance)
Menyesuaikan dengan pasangan yang baru bukanlah
masalah yang mudah, seringkali mereka menemukan berbagai hambatankarena
sebelumnya mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Bagi seorang duda, berarti
dirinya memiliki pengalaman hidup bersama mantan istrinya. Sebaliknya, bagi
seorang janda telah memiliki pengalaman
dengan mantan suaminya. Seperti halnya pandangan psikoanalisis Sigmund Freud
(Hall dan Lindzay,1978) bahwa pengalaman masa lalu akan mempengaruhi sikap
ataupun perilaku seseorang dimasa dating. Demikian pula baying-bayang pengalaman
masa laku tidak dipungkiri menjadi dasar penilaian, persepsi, sikap ataupun
tindakan seseorang dengan pasangan hidup barunya. Apabila seseorang (janda atau
duda) memiliki pengalaman traumatis dengan mantan pasangan hidupnya terdahulu,
kemungkinan persepsi yang dimiliki cenderung negative terhadap pasangan
barunya. Pikiran-pikiran, prasangka atau perasaan buruk kemungkinan muncul
dalam dirinya walaupun kata-kata ataupun perilaku seseorang kelihatan baik
diluar. Oleh karena itu perlu pemahaman dan penerimaan masa lalu, serta dijalin
komunikasi efektif dan efisien dengan
pasangan hidupnya yang baru agar tercipta kehidupan keluarga yang harmonis,
rukun dan damai sentosa sampai tua.
SINGLE LIFE
Hidup sendiri (single life) merupakan salah satu pilihan hidup yang
ditempuh seorang individu. Hidup sendiri berarti ia sudah memikirkan resiko
yang akan timbul yang akan timbul sehingga mau tidak mau ia harus siap
menanggung segala kerepotan yang muncul dalam perjalanan hidupnya.
Faktor-faktor Keinginan Hidup Sendiri
Sebagian orang
menempuh cara hidup ini karena didasari oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Masalah ideologi atau panggilan agama
b. Trauma perceraian
c. Tidak memperoleh jodoh
1. Memperoleh nilai kebebasan.
Individu merasa dapat menikmati kebebasan dalam melakukan berbagai aktivitas
tanpa ada yang mengganggunya. Apabila ia melakukan suatu aktivitas perjalanan
sampai jarak jauh dan menghabiskan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, tidak ada seorang yang mengusiknya. Selain itu dengan
hidup sendiri, seseorang secara bebas akan dapat mengembangkan diri demi
peningkatan hidup di masa depan.
2. Kemandirian dalam pengambilan
keputusan. Individu benar-benar merasakan kehidupan privasi. Ia dapat mengatur
program kegiatan yang disukai dan menghindari (menjauhi) kegiatan yang tidak
disukainya tanpa harus mempertimbangkan keputusan atau usulan orang lain.
Kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan seksual. Setiaporang yang menginjak masa dewasa muda, baik laki-laki
maupun perempuan, tidak dipungkiri memiliki dorongan biologis yang bersifat
alamiah. Bila ia hidup sendiri, kemungkinan besar seseoang tidak dapat memenuhi
kebutuhan seksual. Oleh karena itu, dalam pandangan biologis ini,para selibater
dalam gereja katolik yang tidak mapu menahan dorongan seksual tersebut,
disaranka untuk keluar dan meninggalkan hidup selibat. Sebagian diantara mereka
setelah mengundurkan diri secara sukarela, procedural, dan sah untuk menikah
dan menjalani kehidupan sebagaimana laximnya manusia yang lain. Bahkan seorang
tokoh reformator Gereja dari Jerman, Martin Luther, setelah berhasil melakukan
reformasi ditubuh gereja meninggalkan hidup selibat. Ia mendobrak aturan gereja
katolik tersebut. Setelah reformasi, ia sendiri menjalankan kehidupan layaknya
manusia normal dan menikah.
Sumber:
Gunarsa, Singgih. 2004. Psikologi Untuk Muda Mudi. Jakarta: BPK Gunung Mulya.
Nilam. Psikologi Populer: Menuju Perkawinan Harmonis. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar