Sabtu, 28 Desember 2013

TULISAN TUGAS 4


MEMPENGARUHI PERILAKU

Definisi Pengaruh

Menurut Norman Barry, pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seseorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.

Kunci Perubahan Perilaku

Dalam upaya menjelaskan fenomena sosial, George Homans mengembangkan teori pertukaran berdasarkan prinsip-prinsip transaksi ekonomi, yaitu manusia menawarkan jasa/barang tertentu dengan harapan memperoleh imbalan jasa/barang lain. Interaksi sosial pun menggunakan prinsip resiprositas seperti dalam transaksi ekonomi. Artinya, individu melakukan suatu tindakan demi mendapat imbalan atau justru untuk menghindari hukuman. Perilaku individu diarahkan oleh norma sosial. Konformitas terhadap norma kelompok akan mendapat imbalan/hadiah, sedangkan penyelewengan apalagi pemberontakan terhadap norma kelompok akan menerima hukuman. Teori Homans, ini dinamakan teori perilaku pertukaran (Poloma, 1987). Bagi Homans, tujuan memperbesar keuntungan atau imbalan dan seluruh fenomena sosial dapat dianalisis sebagai bentuk-bentuk pertukaran.
 
Homans menggunakan teori behaviorism dari ahli psikologi Skinner dalam usahanya menjelaskan proses pertukaran dalam perilaku individu dan kelompok. Ia meminjam istilah yang digunakan oleh Skinner sehubungan dengan perubahan perilaku, yaitu sukses, stimulus, nilai, kekurangan versus kejenuhan dan persetujuan versus agresi, dan dibuatnya proposisi sebagai berikut.

  1. Sukses. Makin sering suatu tindakan menghasilkan imbalan/hadiah, akan makin kuat kecenderungan individu untuk melakukan tindakan tersebut. Keberhasilan memperkuat suatu tindakan. Murid/mahasiswa yang mendapat nilai baik dalam ulangan/ujiannya, jika ia belajar dengan baik akan lebih semangat dalam belajar sebelum menghadapi ulangan/ujian berikutnya. 
  2. Stimulus. Jika dimasa lalu tindakan individu sabagai tanggapan dari suatu simulus tertentu mendapat imbalan positif, ketika stimulus serupa timbul lagi, individu cenderung mengulangi tindakan yang sama. Pengalaman masa lalu penting bagi penentuan perilaku individu. Anak yang diberi hadiah karena ia mau diperiksa giginya oleh dokter gigi, akan bersedia lagi pergi ke dokter gigi. 
  3. Nilai. Makin tinggi harga/nilai suatu tindakan bagi individu, makin besar kemungkinan individu tersebut melakukannya. Makin tinggi nilai gelar dokter bagi seorang individu, makin besar pula motivasi untuk studi dan mencapai gelar dokter. 
  4. Kekurangan-kejenuhan. Makin sering individu menerima imbalan tertentu, makin kecil makna imbalan tersebut baginya. Sebaliknya makin jarang imbalan diperoleh, makin besar makna imbalan itu. Proposisi ini menunjukkan relativitas nilai suatu imbalan sehubungan dengan kemudahan  untuk mencapai imbalan tersebut. 
  5. Persetujuan-agresi. Apabila seseorang tidak menerima imbalan yang diharapkan atau ia menerima hukuman diluar harapannya, ia cenderung bertindak agresif. Jika tindakan individu diberi imbalan seperti yang diharapkan atau ia tidak dihukum karenanya, ia akan setuju untuk melakukan tindakan tersebut. Unsur emosi terlihat jelas pada saat individu marah karena merasa diperlakukan tidak adil dan akan senang bila harapannya terpenuhi.

Proposisi yang diajukan oleh Homans tersebut berkaitan dan merupakan satu kesatuan. Artinya setiap individu menentukan setiap tindakannya dengan mempertimbangkan semua faktor yang dikemukakan dalam proposisi tersebut. Hubungan dan kedudukan manusia dalam masyarakat harus terjalin secara adil. Dalam proses aksi sosial, manusia mengharapkan untuk memperoleh imbalan yang sesuai dengan pengorbanan atau biaya yang telah dikeluarkannya.Umumnya, manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang sangat berbeda dengannya. Ia juga membandingkan dirinya dengan orang yang terlibat dalam proses pertukaran dengannya.



Model Perubahan Perilaku Dari Green 

Suatu teori lain yang dikembangkan oleh Lawrence Green mengatakan bahwa kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor diluar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok faktor, yaitu faktor predisposisi, pendukung dan pendorong. Faktor predisposisi (predidposing factors) mencakup pengetahuan individu, sikap kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors ) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dari kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya.

 

Model Green ini dapat digunakan untuk menganalisis program imunisasi di Indonesia. Pemerintah menyediakan sarana obat dan petugas imunisasi memberi penyuluhan (pendidikan kesehatan) dan mendekati para ibu yang anaknya memerlukan imunisasi (faktor pendorong) sehingga ibu-ibu tersebut menjadi paham mengenai pentingnya mencegah penyakit melalui imunisasi (faktor predisposisi). Ini semua diarahkan untuk mencapai perilaku positif, yaitu membawa anak ke posyandu, puskesmas, atau praktik dokter swasta untuk imunisasi. Selain perilaku adapula aspek non perilaku yang dapat mempengaruhi pencapaian kesehatan individu/masyarakat, misalnya sulitnya mencapai sarana pelayanan kesehatan, mahalnya biaya transportasi dan pengobatan.


Wewenang dan Peran Weweanang dalam Manajemen


Bagian paling penting dari manajemen, yaitu pengambilan keputusan. Keputusan merupakan satu pilihan dari dua atau lebih tindakan. Hal ini dapat merupakan keputusan untuk melakukan sesuatu—“ini harus dikerjakan”—atau, kadang-kadang, tidak melakukan sesuatu—“ini biarkan berjalan seperti sebelumnya”. Beberapa keputusan berkenaan dengan kuantitas—“yang ini diperbanyak, uang ini dikurangi, yang lain tidak diperlukan”; sebagian mengenai kualitas—‘cakupan yang luas, pelayanan lebih baik”. Dalam istilah manajemen, pengambilan suatu keputusan merupakan jawaban atas pertanyaan tentang kemungkinan perjalanan/perkembangan suatu kegiatan, suatu jawaban yang dapat dinyatakan dengan sederhana sebagai: ya, tidak, lebih banyak, tidak sama sekali. “saya tidak tahu” dalam konteks ini bukan merupakan keputusan (indecision). Dengan demikian wewenang seorang anggota timdapat didefinisikan secara sederhana sebagai keputusan yang dapat diambil anggota tersebut. Kegagalan yang umum dalam manajemen adalah tidak adanya orang yang jelas bertanggung jawab mengambil keputusan terhadap suatu kepentingan yang mendesak, atau seseorang bertanggung jawab, tetapi tidak diberi wewenang cukup untuk menjalankannya.



KEKUASAAN



Definisi Kekuasaan

Gardner mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu kapasitas untuk memastikan hasil dari suatu keinginan untuk menghambat mereka yang tidak mempunyai keinginan.

Sumber Kekuasaan Menurut French dan Raven

French dan Raven mengajukan lima dasar kekuasaan interpersonal yaitu: Legitimasi, penghargaan, paksaan, ahli dan karisma.

Kekuasaan legitimasi. Kekuasaan sah adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sehubungan dengan posisinya. Seorang dengan posisi yang lebih tinggi dalam organisasi mempunyai kekuasaan kepada orang-orang yang ada dibawahnya. Kekuasaan legitimasi tidak tergantung kepada bawahan. Seorang penyelia yang mencoba untuk memaksa pegawai untuk bekerja sama dalam pencalonan politik favorit akan mengetahui bahwa hanya sedikit saja dari pegawai tersebut yang akan tunduk.
 
Kekuasaan Penghargaan. Pimpinan yang menggunakan kekuasaan legitimasi dapat menggunakan penghargaan untuk memperoleh kerjasama dari bawahan. Bawahan mungkin akan menanggapi petunjuk-petunjuk atau permintaan-permintaan apabila pimpinan dapat menyediakan penghargaan/hadiah yang bernilai seperti misalnya kenaikan gaji, pemberian bonus atau pelaksanaan tugas berdasarkan pilihan misalnya seorang perawat kepala dapat memberikan penghargaan kepada pegawainya dengan memberikan hari libur yang dimintanya atau menaikkan pembayaran karena jasa, sehingga dapat melaksanakan kekuasaan penghargaan ini.

Kekuasaan Paksaan. Kekuasaan paksaan ini adalah kekuasaan dengan hukuman. Bawahan akan tunduk karena ketakutan. Manajer bisa menghukum pegawainya dengan menahan kenaikan pangkatnya, gajinya atau dengan melakukan gangguan. Walaupun kekuasaan paksaan mungkin digunakan untuk memperbaiki perilaku-perilaku tidak produktif didalam organisasi, bahkan seringkali menghasilkan akibat-akibat yang seebaliknya. Mereka yang dihukum mungkin berusaha untuk melarikan diri atau menghindar (dengan cara tidak hadir atau mengganti tugas) atau memperlihatkan permusuhan pada pimpinan (melalui sabotase).

Kekuasaan Karisma. Karisma merupakan dasar dari kekuasaan karisma. Seorang pemimpin yang karismatik dapat mempengaruhi orang benar-benar karena pribadi dan tingkah laku dari pimpinan tersebut. Walaupun karisma sering dipakai untuk orang orang politik, aktor atau tokoh-tokoh olahraga, beberapa manajer juga disebut sebagai karismatik oleh para pegawainya.

Kekuasaan Ahli. Seseorang yang mempunyai keahlian khusus mempunyai nilai yang lebih tinggi. Kekuasaan ini tidak terikat pada urutan tingkatan. Seorang sekretaris di ruang rumah sakit dapat mempunyai kekuasaan ahli yang tinggi apabila sekretaris tersebut mengetahui dengan secara rinci bagaimana fungsi-fungsi dan unit-unit perawatan. Seorang staf perawat, karena telah bekerja bertahun-tahun, mungkin mempunyai lebih banyak informasi dan keahlian spesialisasi tugas daripada perawat kepala yang baru dan karenanya ia akan mempunyai lebih kekuasaan.

Ke lima type dari kekuasaan interpersonal adalah saling ketergantungan karena tipe-tipe tersebut dapat dipakai dengan cara dikombinasikan dengan berbagai cara, dan masing masing dapat mempengaruhi yang lainnya. Misalnya seorang penyelia keperawatan dapat kehilangan kekuasaannya apabila ia menghukum stafnya dengan membatalkan kenaikan pembayaran jasanya.

Orang menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan dan untuk memperkuat posisinya dalam organisasi. Penggunaan kekuasaan adalah sah apabila dipakai secara adil dan dengan cara etis untuk mencapai tujuan organisasi, kelompok dan individu. Pemimpin yang baik menghendaki kekuasaan akan mempengaruhi tingkah laku daripada pegawai untuk suatu kebaikan dari organisasi, bukan untuk keuntungan pribadi.



TEORI-TEORI LEADERSHIP

Definisi Leadership


Menurut Hemhiel dan Coons (1957:7) bahwa kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok kesuatu tujuan yang akan dicapai bersama (shared goal). Sedangkan menurut Rauch dan Behling (1984:46) menyatakan bahwa kepemimpinan  adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasikan kearah pencapaian tujuan. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacobs dan Jacques, 1990:281). Lebih lanjut ditegaskan Kouzes dan Posner (1993:11) menyatakan “Leadership is a relationship, one between contituent and leader that is based in mutual needs and interest.” Sebagai hubungan antara anggota-anggota organisasi dan pemimpin, maka kepemimpinan berlangsung atas adanya saling membutuhkan dan minat yang sama dalam rangka mencapai tujuan.

Teori-teori Kepemimpinan Partisipatif

a. Teori X dan Teori Y dari Douglas Mx Gregor

Gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan suatu cara bagaimana seorang pemimpin mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi dan mengendalikan bawahannya dengan cara-cara tertentu, sehingga bawahan dapat meyelesaikan tugas pekerjaannya secara efektif dan efisien. Dalam dunia bisnis, penerapan gaya kepemimpinan (leadership style) seseorang akan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku bawahannya (para karyawan/pegawai) dalam melakukan pekerjaan mereka. Kepemimpinan dalam suatu organisasi terjadi karena adanya interaksi antara tiga komponen penting, yaitu manajer, karyawan dan situasi atau kondisi lingkungan kerja tertentu.
 
Salah satu teori yang mampu memberikan gambaran gaya kepemimpinan seseorang adalah teori X dan Y. Salah satu model perilaku kepemimpinan adalah teori Xdan Y yang dikemukakan oleh Douglas McGregor. Teori X dan Y didasarkan pada berbagai asumsi tentang para karyawan/pegawai dan bagaimana memotivasi mereka. Berbagai asumsi yang mendasari teori X dan Y adalah:

Teori X
Teori Y
      ·      Karyawan cenderung tidak  
             suka (malas) bekerja, kalu mungkin 
             menghindarinya
      ·      Karyawan selalu ingin diarahkan
      ·      Manajer harus selalu mengawasi kerja
       ·    Karyawan suka bekerja
       ·    Karyawan yang memiliki komitmen 
            pada tujuan organisasi akan dapat 
            mengarahkan dan mengendalikan diri 
            sendiri
       ·    Karyawan belajar untuk menerima 
            bahkan mencari tanggung jawab pada 
            saat bekerja
 
Asumsi yang dikembangkan dalam teori X pada dasarnya cenderung negatif dan gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi adalah gaya kepemimpinan petunjuk (directive leadership style). Gaya kepemimpinan petunjuk sangatlah tepat diterapkan manakala karyawan yang menjadi bawahannya tersebut cenderung pasif, malas bekerja, tidak kreatif dan tidak inovatif. Oleh karena itu, peran pengarahan yang dilakukan oleh manajer suatu organisasi menjadi sangatlah dominan dan penting bagi kemajuan organisasinya tersebut. Tanpa arahan yang jelas dan baik, kinerja karyawan akan buruk, tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan tidak dapat diselesaikan tepat waktu, atau kualitas penyelesaian pekerjaannya rendah. Dalam hal ini, komunikasi yang dikembangkan antara manajer dan para karyawannya cenderung menjadi komunikasi satu arah yaitu komunikasi dari manajer ke bawahan (top-down comunication). Sumber kominikasi lebih didominasi oleh manajer, sehingga bawahan cenderung hanya mengiyakan, tidak punya inisiatf, dan tinggal melaksanakan saja tanpa memahami apa maksud dan tujuan atau latar belakang pelaksanaan tugas tersebut.

Sementara itu asumsi yang dikembangkan dalam teori Y pada dasarnya cenderung posirtif dan gaya kepemimpinan yang diterapkannya adalah gaya kepemimpinan yang partisipatif (participative leadership style). Dalam teori Y di asumsikan bahwa karyawan cenderung berperilaku positif. Karyawan pada dasarnya memiliki semangat kerja yang tinggi, tidak malas bekerja, ingin kerja mandiri dan memiliki komitmen yang tinggi dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Di samping itu, karyawan juga memiliki kecenderungan untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap setiap pekerjaan yang mereka kerjakan. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam situasi tersebut adalah gaya kepemimpinan partisipatif dimana para karyawan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam gaya kepemimpinan partisipatif tersebut, komunikasi yang dikembangkan antara manajer dan bawahan adalah komunikasi dua arah. Manajer juga memberikan

kesempatan kepada bawahan untuk menyampaikan ide atau gagasan (masukan), yang sangat berharga bagi pengembangan suatu organisasi. 

Ringkasnya dalam teori X dan Y Dougls McGregor berusaha mengungkapkan bagaimana perilaku karyawan dalam bekerja dan sekaligus bagaimana gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam situasi lingkungan kerja yang berbeda, termasuk bagaimana komunikasi antar pribadi (manajer dan bawahan) tersebut dikembangkan dalam lingkungan kerjanya.

b. Teori Sistem 4 dari Rensis Likert

Teori Empat Sistem (bahasa Inggris: Four Systems Theory) adalah salah satu teori komunikasi yang mengkaji hubungan antar manusia melalui hasil dari produksinya dilihat dari kacamata manajemen. Rensis Likert dari Universitas Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model) yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut Luthans (1973) struktur peniti penyambung ini cenderung menekankan dan memudahkan apa yang seharusnya terjadi dalam struktur klasik yang birokratik. Ciri organisasi berstruktur peniti penyambung adalah lambatnya tindakan kelompok, hal ini harus diimbangi dengan memanfaatkan partisipasi yang positif.
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik.

Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem:

  1. Sistem Pertama: Sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.
  2. Sistem Kedua: Sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan. Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan bawahan, keputusan ada di atas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut memberikan masukan atas keputusan itu.
  3. Sistem Ketiga: Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
  4. Sistem Keempat: Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian.
Teori empat sistem ini menarik karena dengan penekanan pada perencanaan dan pengendalian teori ini menjadi landasan baik untuk teori posisional dan teori hubungan antar pribadi.

c. Theory of Leadership Pattern Choice dari Tannenbaum dan Scmidt

Tujuh “pola kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt. Demokrasi (hubungan berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan. Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin. Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.
  1. Kepemimpinan Pola 1: “Pemimpin izin bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”
    Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk bertemu.
  2. Kepemimpinan Pola 2: “Pemimpin mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat keputusan.”
    Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana hari adalah yang terbaik
  3. Kepemimpinan Pola 3: “Pemimpin menyajikan masalah, mendapat kelompok menunjukkan, maka pemimpin membuat keputusan.”
    Contoh: Pemimpin meminta tim untuk menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim akan bertemu.
  4. Kepemimpinan Pola 4: “Pemimpin tentatif menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah oleh kelompok.”
    Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah hari Rabu akan menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari lain yang mungkin lebih baik.
  5. Kepemimpinan Pola 5: “Pemimpin menyajikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.”
    Contoh: Pemimpin tim mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan tim. Pemimpin kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.
  6. Kepemimpinan Pola 6: “Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang benar.”
    Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Rabu. Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Rabu adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.
  7. Kepemimpinan Pola 7: “Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup.”
    Contoh: Pemimpin memutuskan bahwa tim akan bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak, dan mengatakan bahwa berita itu kepada tim. 


d. Modern Choice Approach to Participation 

Model ini mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan 
yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu.Menurut teori ini, gaya kepemimpinan
yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapioleh macam keputusan yang 
harus diambil. Ada tiga perangkat parameter yang penting dalam gaya kepemimpinan teori 
ini, yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektifitas keputusan, kriteria penemu 
kenalan jenis situasi pemecahan persoalan. 



e. Contingency Theory of Leadership dari Fiedler



Model kemungkinan kepemimpinan pertama yang komprehensif dikembangkan oleh Fred Fiedler. Model kemungkinan Fiedler (Fiedler Contingency Model) menyatakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada kesesuaian antara gaya pemimpin dan sejauh mana situasi tersebut memberikan kendali kepada pemimpin tersebut.

Mengidentifikasi gaya kepemimpinan. Fiedler meyakini bahwa salah satu faktor utama bagi 

kepemimpinan yang berhasil adalah gaya kepemimpinan dasar seorang individu. Jadi, ia mulai dengan berusaha mencari tahu apa gaya dasar tersebut. Fiedler lalu menyusun suatu kuesioner rekan kerja yang paling tidak disukai (least preferred coworker—LPC—questionnaire) demi maksud ini, ia mengukur apakah seseorang berorientasi tugas atau hubungan. Kuesioner LPC merupakan kumpulan 16 kata sifat yang saling berlawanan (seperti menyenangkan-tidak menyenangkan, efisien-tidak efisien, terbuka-tertutup, suportif-bermusuhan). Fiedler meminta para respondennya untuk mengingat semua rekan kerja mereka dan mendeskripsikan satu orang diantara mereka yang paling tidak disukai untuk mereka ajak kerja sama dengan cara memberi nilai pada orang tersebut dengan skala 1 sampai 8 untuk tiap-tiap 16 kumpulan kata sifat yang saling berlawanan diatas. Fiedler yakin bahwa berdasarkan jawaban-jawaban para responden dalam kuesioner LPC ini, ia bisa menentukan gaya kepemimpinan dasar mereka. Apabila rekan kerja yang paling tidak disukai dideskripsikan dalam pengertian yang relatif positif (nilai LPC tinggi), responden tersebut berarti ingin menjalin hubungan pribadi yang baik dengan rekan kerjanya itu. Berikutnya, hal tersebut berarti bila anda mendeskripsikan orang yang paling tidak bisa anda ajak kerja sama dengan istilah yang baik, Fiedler akan meyebut anda sebagai orang yang berorientasi hubungan. Sebaliknya, bila rekan kerja yang paling tidak disukai dinilai.



Dalam pengertian yang relatif tidak baik (nilai LPC yang rendah), responden tersebut pada dasarnya tertarik pada produktifitas dan karenanya akan disebut berorientasi tugas. Sekitar 16% responden mendapat nilai tingkat menengah. Individu-individu seperti ini tidak bisa diklasifikasikan sebagai orang yang berorientasi hubungan atau tugas dan oleh karenanya jatuh diluar prediksi teori tersebut. Dengan demikian, sisa diskusi kita berhubungan dengan 84% yang mendapat nilai tinggi atau rendah dalam LPC mereka.



Fiedler mengasumsikan bahwa gaya kepemimpinan seseorang bersifat tetap atau tidak akan berubah. Seperti akan kami tunjukkan, asumsi ini secara khusus penting karena itu artinya bahwa bila suatu situasi membutuhkan seorang pemimpin yang berorientasi tugas dan orang yang berada dalam posisi kepemimpinan adalah orang yang berorientasi hubungan, situasi tersebut harus diubah atau pemimpin tersebut harus diganti bila efektifitas yang optimal ingin dicapai.

Memahami situasinya. Setelah gaya kepemimpinan dasar seseorang diketahui melalui LPC, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mencocokkan si pemimpin dengan situasi. Fiedler mengidentifikasi tiga dimensi kemungkinan yang menurutnya menentukan faktor-faktor situasional. Kunci yang menentukan efekifitas kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut adalah hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuatan posisi. Ketiganya didefinisikan sebagai berikut: 
1. Hubungan pemimpin-anggota: Tingkat kepatuhan, kepercayaan dan easa hormat para  
    anggota terhadap pemimpin mereka. 
2. Struktur tugas: Tingkat sejauh mana penentuan pekerjaan diproseduralkan (yaitu, 
    terstruktur atau tidak terstruktur). 
3. Kekuatan posisi: Tingkat pengaruh yang dimiliki oleh seorang pemimpin atas variabel- 
    variabel kuas seperti perekrutan, pemecatan, pendisiplinan, promosi dan kenaikan gaji.

Langkah berikutnya dalam model Fiedler adalah mengevaluasi situasi menurut tiga variabel kemungkinan ini. Apakah hubungan pemimpin-anggota baik atau buruk, apakah struktur tugas tinggi atau rendah, dan apakah kekuatan posisi kuat atau lemah? Fiedler menyatakan bahwa bila hubungan pemimpin anggota lebih baik, struktur pekerjaan lebih tinggi, dan kekuatan piosisi lebih kuat, kontrol yang dimiliki oleh pemimpin tersebut pun lebih besar. Sebagai contoh, dalam suatu situasi yang benar-benar baik ( dimana pemimpin memiliki kontrol yang besar), terdapat seorang manajer penggajian yang amat dihormati dan yang amat dipercayai oleh karyawan-karyawannya (hubungan pemimpin-anggota yang baik), karena berbagai aktivitas yang mestinya dijalankannya—seperti perhitungan gaji, penulisan cek, pembuatan laporan—memang spesifik dan jelas (struktur tugas yang tinggi), serta pekerjaan tersebut menawarkannya kebebasan untuk memberi penghargaan dan hukuman kepada para karyawannya (kekuatan posisi yang kuat). Sebaliknya salah satu contoh situasi yang tidak menyenangkan adalah seorang ketua yang tidak disukai oleh tim penggalangan dana sukarela United Way. Dalam menjalankan pekejaannya, pemimpin itu hanya memiliki sedikit kontrol. Secara keseluruhan, dengan memadukan ketiga dimensi kemungkinan ini, akan muncul delapan situasi atau kategori yang berbeda dimana para pemimpin bisa menemukan diri mereka.

Mencocokkan pemimpin dengan situasi. Dengan mengetahui LPC seseorang dan nilai dari tiga dimensi kem ungkinan sebagaimana disebutkan sebelumnya, model Fiedler  mencocokkan keduanya untuk mencapai efektifitas kepemimpinan yang maksimal. Berdasarkan penelitiannya, Fiedler menyimpulkan bahwa pemimpin yang berorientasi tugas cenderung bekerja secara lebih baik dalam situasi yang sangat menguntungkan dan dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan mereka. Karenanya Fiedler memprediksi bahwa ketika dihadapkan dengan kategori situasi I, II, III, VII atau VIII, pemimpin yang berorientasi tugas akan bekerja secara lebih baik. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin yang berorientasi hubungan mampu bekerja dengan lebih baik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan—kategori IV dan VI. Dalam beberapa tahun terakhir, Fiedler berhasil memadatkan kedelapan situasi ini menjadi tiga. Sekarang ia bisa mengatakan bahwa pemimpin yang berorientasi tugas bekerja sangat baik dalam situasi-situasi dengan tingkat kontrol yang tinggi dan rendah, sementara pemimpin yang berorientasi hubungan bekerja sangat baik dalam situasi-situasi dengan tingkat kontrol yang moderat.

Setelah memahami temuan-temuan Fiedler tersebut, bagaimana anda bisa menerapkannya? Yang perlu anda lakukan adalah mencocokkan pemimpin dengan situasi. Nilai LPC seseorang akan menentukan jenis situasi yang paling sesuai untuk mereka. “Situasi” itu sendiri akan didefinisikan dengan cara mengevaluasi ketiga faktor kemungkinan—hubungan pemimpin anggota, struktur tugas, dan kekuatan posisi. Tetapi ingat bahwa Fiedler menganggap gaya kepemimpinan seseorang sebagai sesuatu yang tetap. Karena itu, hany ada dua cara untuk meningkatkanefektifitas pemimpin.Pertama, anda bisa mengganti pemimpin tersebut agar sesuai dengan situasi yang ada—seperti dalam sebuah permainan bisbol, seorang manajer bisa menempatkan seorang pelempar bola yang kidal atau bukan dalam permainan, bergantung pada berbagai karakteristik situasional dari si pemukul. Jadi, misalnya, apabila situasi kelompok dinilai sangat tidak menguntungkan tetapi saat itu mereka tengah dipimpin oleh seorang manajer yang berorientasi hubungan, kinerja kelompok dapat ditingkatkan dengan mengganti manajer tersebut denganseorang manajer lain yang berorientasi tugas. Alternatif kedua adalah mengubah situasi agar sesuai dengan sang pemimpin. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan restrukturisasi tugas atau meningkatkan atau mengurangi kekuatan yang dimiliki oleh pemimpin untuk mengontrol berbagai faktor seperti kenaikan gaji, promosi dan tindakan disipliner.

f. Path Goal Theory


Dikembangkan oleh Robert House, teori jalan-tujuanmengambil elemen-elemen dari penelitian kepemimpinan Ohio State University tentang struktur awal dan tenggang rasa dan teori pengharapan motivasi.

Teori Jalan-Tujuan. Inti dari teori  jalan tujuan (path-goal theory) adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi, dukungan, atau sumber -sumber daya lain yang dibutuhkan kepada para pengikut agar mereka bisa mencapai berbagai tujuan mereka. Istilah jalan tujuan berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin yang efektif semestinya bisa menunjukkan jalan guna membantu pengikut-pengikut mereka mendapatkan hal-hal yang mereka butuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai rintangannya.Perilaku Pemimpin. House mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan. Pemimpin yang direktif member tahu kepada para pengikut mengenai apa yang diharapkan dari mereka, menentukan pekerjaan yang harus mereka selesaikan, dan memberikan bimbingan khusus terkait dengan cara menyelesaikan berbagai tugas tersebut. Pemimpin yang suportif  adalah pemimpin yang ramah dan memerhatikan kebutuhan para pengikut. Pemimpin yang partisipatif berunding dengan para pengikut dan menggunakan saran-saran mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Pemimpin yang berorientasi pencapaian  menetapkan tujuan-tujuan yang besar dan mengharapkan para pengikutnya untuk bekerja dengan sangat baik. Berlawanan dengan Fiedler, House berasumsi bahwa pemimpin itu fleksibel dan bahwa pemimpin yang sama bisa menampilkan satu atau seluruh perilaku ini bergantung pada situasi yang ada.

Beragam Variabel dan Prediksi Kemungkinan

Teori jalan-tujuan menawarkan dua kelas variable kemungkinan yang menghubungkan perilaku kepemimpinan dengan hasil—variabel-variabel dalam lingkungan yang berada diluar kendali karyawan (struktur tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja) serta berbagai variable yang merupakan bagian dari karakteristik personal karyawan (pusat kendali, pengalaman dan kemampuan yang diyakini dimiliki). Faktor-faktor lingkungan menentukan jenis perilaku pemimpin yang dibutuhkan sebagai pelengkap apabila hasil pengikut ingin dimaksimalkan, sementara karakteristik personal karyawan menentukan bagaimana lingkungan dan perilaku pemimpin diinterpretasikan. Karenanya, teori ini menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi tidak efektif bila perilaku tersebut tumpang tindih dengan sumber-sumber struktur lingkungan atau tidak kongruen dengan karakteristik karyawan. Sebagai contoh, berikut adalah ilustrasi prediksi-prediksi yang didasarkan pada teori jalan-tujuan:

  • Kepemimpinan direktif menghasilkan kepuasan yang lebih besar manakala tugas-tugasnya bersifat ambigu atau penuh tekanan bila dibandingkan dengan ketika tugas-tugas tersebut terstruktur sangat ketat dan diuraikan dengan sangat baik.
  • Kepemimpinan yang suportif menghasilkan kinerja dan kepuasan karyawan yang tinggi ketika karyawan mengerjakan tugas-tugas yang terstruktur.
  • Kepemimpinan direktif cenderung dipandang tidak efektif apabila karyawan memiliki kemampuan yang diyakini baik atau penglaman yang banyak.
  • Karyawan dengan pusat kendali internal akan lebih puas dengan gaya partisipatif.
  • Kepemimpinan yang berorientasi pencapaian dapat meningkatkan harapan para karyawan bahwa usaha akan menghasilkan kinerja yang tinggi ketikatugas-tugas disusun secara ambigu.
Evaluasi. Karena kompleksitasnya, upaya untuk menguji teori jalan-tujuan ini terbukti tidak gampang. Tinjauan terhadap petunjuk yang ada memberikan hasil yang beragam. Sebagaimana dinyatakan dalam komentar para penyusun tinjauan ini, “hasil ini menunjukkan bahwa kepemimpinan efektif tidak bergantung pada peniadaan hambatan dan rintangan bagi instrumentalitas jalan karyawan seperti yang dinyatakan oleh teori jalan-tujuan dan bahwa hakikat dari halangan ini tidak sejalan dengan dalil teori tersebut”.Tinjauan yang lain menyimpulkan bahwa kurangnya bukti pendukung sungguh “mengejutkan dan mengecewakan”. Kesimpulan-kesimpulan ini diragukan oleh kalangan lain yang berpandangan bahwa pengujian yang memadai atas teori ini belum dilakukan. Demikianlah, aman bagi kita untuk mengatakan bahwa validitas teori jalan-tujuan ini masih diperdebatkan dan dicari. Karena sangat rumit untuk diuji, permasalahan ini kiranya masih akan bertahan untuk beberapa waktu yang akan datang.



MOTIVASI

Definisi Motivasi

Menurut Weiner (1990) yang dikutip Elliott et al (2000), motivasi didefinisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kitamencapaitujuan tertentu dan membuat kita tetap tertarikdalam kegiatan tertentu. Menurut Uno (2007), motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal dan external dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan adanya (1) hasrat dan minat untuk melakukan kegiatan, (2) dorongan dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan, (3) harapan dan cita-cita, (4) penghargaan dan penghormatan atas diri, (5) lingkungan yang baik, serta (6) kegiatan yang menarik. Motivasi adalah sesuatu apa yang membuat orang bertindak (Sargent, di kutip oleh Howard, 1999) menyatakan bahwa motivasimerupakan dampak dari interaksi seseorang dengan situasi yang dihadapinya (Siagian,2004). Motivasi menjadi suatu kekuatan, tenaga atau daya, atau suatu keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam diri individu untuk bergerak kearah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak di sadari (Makmun,2003).

Teori Drive Reinforcement

Teori Dorongan–Penguatan (Drive–Reinforcement Theory) didasarkan atas hukum pengaruh (the law of effect) yang dikemukakan Throndike pada tahun 1911. Tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak diulang. Penelitian terhadap pengubahan perilaku menyarankan bahwa penguatan perilaku dengan ganjaran biasanya lebih lebih efektif dari penguatan dengan hukuman. Menurut Teori Dorongan–Penguatan, kebiasaan akan diperkuat bila: (1) Penguatan terjadi secepatnya setelah tanggapan-tanggapannya dilakukan, (2) Pengalaman penguatan diulang-ulang dalam banyak kali, dan (3) Kapasitas penguatan (ganjaran atau hukuman) adalah besar (Wexley dan Yukl, 2005:104).  

Teori Harapan 

Baru-baru ini, salah satu pekerjaan tentang motivasi yang paling diterima dimana-mana adalah teori harapan (expectancy theory) dari Victor Vroom. Meskipun mendapatkan kritikan, sebagian besar bukti yang ada mendukung teori ini.

Teori harapan menunjukkan bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut. Dalam bentuk yang lebih praktis, teori harapan mengatakan bahwa karyawan-karyawan akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang tingi ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kinerja yang baik; penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaan-penghargaan organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja, atau promosi; dan penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi para karyawan. Oleh karenanya, teori tersebut berfokus pada tiga hubungan.
  1. Hubungan usaha- kinerja. Kemungkinan yang dirasakan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah usaha akan menghasilkan kinerja
  2. Hubungan kinerja-penghargaan. Tingkat sampai mana individu tersebut yakin bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilkan pencapaian yang diinginkan.
  3. bungan penghargaan—tujuan-tujuan pribadi . Tingkat sampai mana penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-penghargaan potensial bagi individu tersebut.
Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak pekerja tidak termotivasi dalam pekerjaan-pekerjaan mereka dan hanya melakukan usaha minimum untuk mencapai sesuatu. Ini sangat jelas ketika kita melihat ketiga hubungan teori tersebut secara lebih mendetail. Kita menghadirkannya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh karyawan-karyawan dalam bentuk afimatif bila motivasi mereka ingin dimaksimalkan.  

Teori Tujuan

Teori tujuan menjelaskan perilaku dari segi pengaruh tujuan-tujuan sadar manusia. Teori ini, seperti yang dirumuskan Locke adalah suatu penjabaran dari konsep “Tingkatan Aspirasi” Lewin dan “Proposisi” Ryan. Premis dasar Locke menyebutkan bahwa perilaku seseorang diatur menurut tujuan-tujuan serta maksud-maksud tujuan individunya. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak dicapai (Wexley dan Yukl, 2005:113). 
Manusia akan cenderung untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar keenganannya untuk berupaya.
Teori Hirarki Kebutuhan Maslow

Penelitian yang dilakukan oleh pakar psikologi Abraham H.Maslow menyarankan tentang bagaimana pemberi kerja dapat memotivasi para karyawan. Teori Hierarki kebutuhan Maslow merupakan daftar dari kebutuhan manusia yang telah diterima secara luas, dengan mendasarkan pada asumsi-asumsi berikut ini: 
  1. Kebutuhan orang-orang bergantung pada apa yang telah dimilikinya. 
  2. Sebuah kebutuhan yang terpuaskan bukanlah sesuatu yang memotivasi; tetap hanyalah kebutuhan tak terpuaskan yang dapat mempengaruhi perilaku. 
  3. Kebutuhan dari orang-orang ditata dalam sebuah hierarki kepentingan, ketika mereka memuaskan satu kebutuhan, setidaknya sebagian, yang lainnya muncul dan menuntut untuk dipuaskan.
Dalam teori hierarki kebutuhannya, Maslow mengajukan bahwa senua orang memilikikebutuhan-kebutuhan dasar yang harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum mereka menyadari kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Ia mengidentifikasi lima jenis dari kebutuhan: 
  1. Kebutuhan fisiologis(physiological needs). Kebutuhan-kebutuhan dasar ini termasuk makanan, rumah tinggal dan pakaian. Ditempat kerja, pemberi kerja memuaskan kebutuhan-kebutuhan ini dengan membayar gaji dan upah serta membangun suasana kerja yang nyaman.
  2. Kebutuhan akan keamanan (safety needs). Kebutuhan-kebutuhan ini mengacu pada hasrat terhadap perlindungan fisik dan ekonomis. Karyawan memuaskan kebutuhan-kebutuhan ini dengan memberikan manfaat seperti program dana pensiun, keamanan kerja, dan lingkungan kerja yang aman. 
  3. Kebutuhan sosial (social/belongingness needs). Orang-orang ingin diterima oleh keluarga dan individu-individu lain dan kelompok. Di tempat kerja, para karyawan ingin membangun hubungan baik dengan rekan kerja dan manajer mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelompok. 
  4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) . Orang-orang senang menerima perhatian, pengakuan, dan apresiasi dari orang lain. Karyawan merasa senang ketika mereka dihargai atas kinerja yang baik dan dihormati atas kontribusi mereka. 
  5. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization). Kebutuhan-kebutuhan ini mendorong orang-orang untuk mencari pemenuhan kebutuhan, menyadari tentang potensi diri mereka, dan secara penuh menggunakan bakan dan kapabilitas mereka. Para karyawan dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan ini dengan menawarkan penugasan kerja yang kreatif dan menantang untuk peningkatan diri dengan mempertimbangkan kebaikan individu.
Menurut Maslow, orang-orang harus memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang jenjangnya lebih rendah (kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keamanan) sebelum mereka termotivasi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi (kebutuhan sosial, penghargaandan aktualisasi diri).





DAFTAR PUSTAKA

Boone, L, E. 2007. Pengantar Bisnis Kontemporer Edisi 11. Jakarta: Salemba Empat.  
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kurnia, Ahmad. 2011. Teori Motivasi. http://teknikkepemimpinan.blogspot.com/2011/04/teori-motivasi.html. 19 April 2011. Diakses 25 Desember 2013.
Noorkasiani. 2007. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC.   
Nursalam. 2008. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.  
Purwanto, D. 2006. Komunikasi Bisnis. Jakarta: Erlangga.
Rachmatika, Winda. 2009. Leadership. http://teorimempengaruhiperilaku.blogspot.com/2009/11 /leadership.html. 16 November 2009. Diakses 25 Desember 2013.
Robbins, S, P. 2008. Perilaku Organisasi Edisi 12 Buku 1. Jakarta: Salemba Empat. 
Robbins, S, P. 2008. Perilaku Organisasi Edisi 12 Buku 2. Jakarta: Salemba Empat. 
Rosemary. 1999. Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: EGC.  
Swanburg, R, C. 1994. Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan untuk Perawat Klinis. Jakarta: EGC.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu & Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imtima.
Tim Wikipedia. 2011. Teori Empat Sistem. http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Empat_Sistem. 24 November 2011. Diakses 25 Desember 2013.
Tombak, Anggar. Menjadi Pemimpin Kharismatik. http://www.kawandnews.com/2011/02/menjadi-pemimpin-kharismatik.html. Diakses 25 Desember 2013.